Upaya Pemindahan Pari, Harapan Baru Penyelamatan Badak Kalimantan

Badak Kalimantan
Sumber :

Kutai Barat – Di tengah rimba Kalimantan Timur, satu badak betina bernama Pari hidup sendirian. Ia berjalan menembus rapatnya semak, mencari pakan di sela pohon besar, sambil berjuang bertahan dari berbagai ancaman.

Pengiriman Bantuan hanya Solusi Tambal Sulam, Mahulu Tetap Terjebak Krisis Tiap Tahun

Kesendirian Pari bukan sekadar gambaran nasib satu satwa liar, melainkan potret gentingnya keberlangsungan spesies badak Kalimantan. Hasil survei lapangan menunjukkan keberadaan Pari di hutan Kalimantan Timur menjadi salah satu harapan terakhir upaya penyelamatan badak bercula di Pulau Borneo.

Namun, di balik itu, ancaman deforestasi, perambahan hutan, hingga perburuan ilegal membuat masa depannya sangat rapuh. Jika dibiarkan sendirian di habitat terbuka, Pari bukan hanya terancam kehilangan rumah, tetapi juga menghadapi risiko kepunahan tanpa pernah meninggalkan keturunan.

Tiap Kemarau Long Apari Terjebak Krisis, Martina Wau Tuntut Jalan Permanen

“Kalau Pari tidak kita translokasikan, maka keberadaannya akan sia-sia. Tahun ini kami bersama BKSDA Kaltim cukup optimis Pari bisa dipindahkan ke Suaka Badak Kelian, seperti Pahu sebelumnya,” ujar Kurnia Oktavia Khairani, Direktur ALeRT.

Oleh karena itu, para pegiat konservasi menilai pentingnya langkah segera memindahkan Pari ke Suaka Badak Kelian (SBK) di Kutai Barat. Pemindahan ini diyakini akan memberikan perlindungan yang lebih baik, sekaligus membuka peluang untuk program pengembangbiakan berbantu.

Abrasi Sungai Mahakam Picu Longsor di Kutai Barat, Relokasi Jadi Opsi Pemerintah

Pari teridentifikasi sebagai badak betina yang masih berada di habitat alaminya. Tidak seperti Pahu, badak betina lain yang sejak 2018 dipindahkan ke SBK, Pari masih hidup liar di hutan. Keberadaan Pari kerap dikaitkan dengan istilah “doom rhino”, yakni badak yang hidup sendirian tanpa pasangan, sehingga tidak memiliki kesempatan alami untuk berkembang biak.

Ancaman terbesar Pari adalah habitat yang terus menyusut. Aktivitas deforestasi dan kegiatan ilegal yang mengganggu belantara Kalimantan Timur secara langsung membahayakan kelangsungan hidupnya. Survei menunjukkan kawasan jelajah Pari semakin sempit, diiringi tekanan dari aktivitas manusia yang meningkat.

Selain itu, isolasi populasi juga menjadi persoalan mendasar. Badak sumatra, termasuk subspesies Kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni), merupakan satwa soliter. Namun, ketika satu betina terpisah jauh dari jantan, peluang reproduksi akan lenyap. Kondisi inilah yang dialami Pari.

Suaka Badak Kelian (SBK) di Kutai Barat, Kalimantan Timur, didirikan sebagai tempat konservasi ex-situ khusus untuk badak Kalimantan. Fasilitas ini berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Kelian Lestari dan dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur dengan dukungan Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT).

SBK menyediakan area luas berupa paddock berpagar, dengan ekosistem menyerupai habitat asli. Di dalamnya terdapat vegetasi pakan, kubangan lumpur, hingga fasilitas perawatan harian. Badak yang tinggal di sini akan terus dipantau kesehatannya, mendapat pengawasan ketat, dan terhindar dari ancaman eksternal.

“Suaka Badak Kelian memang disiapkan sebagai tempat perlindungan dan pengembangbiakan. Meski saat ini belum ada pejantan, teknologi reproduksi berbantu sudah disiapkan untuk memperbesar peluang lahirnya badak baru,” jelas Kurnia.

Kasus Pahu, badak betina pertama yang dipindahkan ke SBK pada 28 November 2018, menjadi contoh nyata bagaimana fasilitas ini berfungsi sebagai benteng perlindungan. Pemindahan Pahu terbukti menyelamatkannya dari risiko jerat dan deforestasi di habitat alami. Kini, Pahu tetap sehat dan menjadi subjek penelitian untuk pengembangan teknologi reproduksi berbantu.

Dengan pengalaman itu, pemindahan Pari menjadi langkah logis berikutnya. Di bawah perlindungan SBK, Pari dapat hidup lebih aman sekaligus berkontribusi pada program konservasi jangka panjang.

Meski rencana pemindahan terdengar ideal, pelaksanaannya bukan perkara mudah. Badak merupakan satwa besar yang sensitif terhadap stres. Untuk menangkap dan memindahkan Pari, tim konservasi harus menyiapkan strategi khusus mulai dari pemasangan perangkap aman (pit trap atau boma), penanganan medis, hingga transportasi ke SBK.

Proses seperti ini pernah dilakukan terhadap Najaq, badak betina lain yang terekam kamera pada Oktober 2015 dengan jerat di kakinya. Najaq berhasil masuk perangkap pit trap pada Maret 2016, namun meski telah dirawat, ia meninggal pada April 2016 akibat infeksi serius. Pengalaman pahit itu menjadi pelajaran penting betapa rapuhnya kondisi badak Kalimantan saat berada di tangan manusia.

Karena itu, setiap langkah pemindahan Pari harus dihitung secara matang. Kesiapan fasilitas boma, kehadiran dokter hewan berpengalaman, hingga jalur transportasi yang aman menjadi syarat mutlak agar Pari tidak mengalami trauma maupun risiko kesehatan.

Ketiadaan jantan di SBK memang masih menjadi keterbatasan utama. Namun, para peneliti menyiapkan jalan lain seperti penerapan Assisted Reproductive Technologies (ART) atau teknologi reproduksi berbantu.

Melalui ART, peluang kelahiran badak baru tetap terbuka meskipun tidak ada perkawinan alami. Program ini sebelumnya telah diuji pada badak sumatra di fasilitas konservasi lain, termasuk di Sumatera. Harapannya, dengan teknologi ini, Pahu dan Pari dapat berkontribusi bagi kelangsungan populasi badak Kalimantan di masa depan.

Di samping itu, SBK juga menjadi pusat penelitian yang menghubungkan ilmuwan dalam dan luar negeri. Setiap individu badak yang dipindahkan tidak hanya diselamatkan, tetapi juga menjadi sumber pengetahuan untuk pengembangan strategi konservasi global.

Sejak kematian Iman, badak Kalimantan terakhir di Malaysia pada 23 November 2019, populasi subspesies ini hanya tersisa di Indonesia. Kalimantan Timur menjadi rumah terakhir mereka, namun jumlahnya sangat sedikit.

“Indonesia, khususnya Kalimantan Timur, saat ini hanya memiliki dua individu badak Kalimantan: Pahu dan Pari. Keduanya menjadi prioritas utama,” tegas Ari Wibawanto, Kepala BKSDA Kaltim.

Situasi ini mencerminkan krisis populasi badak sumatra secara keseluruhan. Menurut catatan para konservasionis, total badak sumatra diperkirakan hanya tersisa kurang dari 80 individu di alam liar, tersebar di Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Gunung Leuser.

Di Kalimantan, keberadaan Pari menjadi sangat berharga karena menambah harapan tersisa dari garis keturunan yang berbeda. Dengan kata lain, Pari bukan hanya sekadar satu individu badak, melainkan kunci penting bagi keberagaman genetik yang sangat dibutuhkan untuk pemulihan spesies.

Pelestarian badak bukan hanya tugas satu lembaga, tetapi membutuhkan kolaborasi lintas pihak seperti pemerintah, lembaga konservasi, peneliti, hingga masyarakat lokal. SBK menjadi contoh kolaborasi itu, di mana pengelolaan BKSDA Kalimantan Timur didukung oleh ALeRT serta mitra konservasi lain yang berpengalaman.

Selain infrastruktur, dukungan pendanaan jangka panjang juga krusial. Upaya konservasi badak membutuhkan biaya besar untuk perawatan, pemantauan, hingga program reproduksi. Karena itu, sinergi pemerintah, donor internasional, dan masyarakat sipil sangat menentukan keberlanjutan program ini.

“Pelestarian badak adalah pekerjaan besar yang hanya bisa berhasil lewat kerja kolektif. Kita perlu optimis, karena tanpa aksi nyata, badak Kalimantan bisa benar-benar hilang dari bumi,” pungkas Ari Wibawanto.

Kisah Pari membawa pesan mendalam, betapa satu individu satwa liar bisa menjadi penentu masa depan spesies. Jika Pari berhasil dipindahkan dan dirawat dengan baik di SBK, peluang melahirkan generasi baru badak Kalimantan masih terbuka. Namun, jika Pari hilang di habitatnya, maka harapan itu ikut sirna.