Maratua Bangkit Lewat Ekowisata, Warga Berjuang Jadi Tuan di Rumah Sendiri
Bagi warga Maratua, kehadiran resor besar sering terasa asing. Roberto, warga Kampung Payung-Payung, menceritakan bagaimana wisatawan yang ia antar dengan mobil bak terbuka miliknya kerap ditolak masuk ke kawasan resor.
“Itu hak mereka juga sebenarnya, karena demi kenyamanan tamu yang menginap di situ,” kata Roberto saat ditemui pada awal Agustus 2025.
Namun, konsekuensinya, ekonomi lokal tidak banyak bergerak. Wisatawan tentu lebih memilih langsung ke resor dengan segala fasilitasnya.
Direktur BUMK Kampung Teluk Harapan, Wira Hadikusuma menambahkan bahwa sebagian besar resor lebih dulu membangun fasilitas baru kemudian mengurus izin.
“Seperti kasus resor termahal di pulau ini, itu membangun dulu, kemudian viral, baru mengurus izin,” ungkapnya.
Harga kamar di resor bisa mencapai jutaan rupiah per malam. Tak heran banyak wisatawan memilih menginap di Pulau Derawan yang lebih murah, lalu hanya berkunjung singkat ke Maratua. Akibatnya, pengeluaran wisatawan tidak banyak berputar di kampung-kampung Maratua.
Kondisi itu memantik kesadaran warga. Kepala Kampung Payung-Payung, Rico, bersama pemuda kampung membentuk kelompok Maratua Peduli Lingkungan (MPL). Dari sebuah rumah sederhana dekat dermaga, ia memperlihatkan mesin pendingin ikan yang mereka kelola bersama BUMK.