TRC Mangkutup, Pusat Riset Konservasi Orang Utan di Tengah Hutan Tanaman Industri
Kapuas – Di tengah lanskap hutan tanaman industri, berdiri sebuah pusat riset yang tak lazim bernama Training and Research Center (TRC) Mangkutup. Kawasan ini menjadi simpul konservasi orang utan Kalimantan, lengkap dengan stasiun pemantauan, jaringan peneliti, serta data populasi yang terus diperbarui.
TRC Mangkutup menjadi pusat pelatihan dan riset konservasi berbasis sains. Dari sinilah kegiatan monitoring satwa, pengambilan data habitat, hingga pengujian metode konservasi dilakukan secara berkala.
“Jumlahnya kecil, tapi secara ekologis ini adalah populasi liar yang stabil, bagus dan terpantau,” ujar Yaya Rayadin, primatolog dari Universitas Mulawarman dan pendiri Ecositrop (Ecology and Conservation Center for Tropical Studies), yang memimpin pemantauan di kawasan ini.
Melalui kamera jebak, pengamatan sarang, dan alat bioakustik, populasi orang utan di wilayah ini diperkirakan mencapai 227 hingga 484 individu. Secara geografis, TRC Mangkutup berada di aliran tiga sungai yaitu Sungai Mangkutup, Sungai Gawing, dan Sungai Murui yang menjadi pusat aktivitas studi.
Namun TRC Mangkutup bukan berdiri di dalam kawasan konservasi murni, melainkan di tengah konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) aktif. Inisiatif ini digagas oleh PT Industrial Forest Plantation (IFP) yang sejak 2014 menetapkan lebih dari 58.743 hektare arealnya sebagai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT), setara hampir 60 persen dari total konsesi perusahaan.
“Ini bukan sekadar pelengkap dokumen izin. Ini kerja panjang berbasis data ilmiah dan kolaborasi,” tegas Yaya.
Upaya konservasi yang diterapkan PT IFP dilandasi kajian ilmiah dan regulasi formal. Dua keputusan penting, yakni SK Menteri Kehutanan Nomor 664/MENHUT-II/2009 dan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8151 Tahun 2024, menjadi dasar pelaksanaan konservasi sebagai bagian dari Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH).
Selain Ecositrop dan Universitas Palangkaraya (UPR), program konservasi ini juga melibatkan BKSDA Kalimantan Tengah, Mutu International, serta masyarakat lokal melalui pelatihan Satgas Konservasi dan kegiatan sosial mapping.
“Tak ada spesies lain yang sedekat ini secara genetik dengan manusia, selain orang utan,” kata Yaya.
Kedekatan genetik ini mencerminkan nilai strategis orang utan sebagai subjek riset. Selain berbagi 96 persen DNA dengan manusia, orangutan memiliki kehidupan sosial yang kompleks yaitu hamil sembilan bulan, menyusui selama dua tahun, dan mendidik anaknya hingga delapan tahun.
“Sepanjang hidup, satu induk hanya melahirkan sekitar lima anak. Bandingkan dengan babi hutan yang bisa belasan dalam setahun,” ujar Yaya.
“Karena itulah orang utan sangat rentan,” sambungnya.
Perilaku makan orang utan juga memperkuat peran ekologis mereka sebagai agen regenerasi hutan. Mereka menyebarkan biji tanaman lewat sistem pencernaan, meningkatkan kemungkinan tumbuhnya pohon baru.
“Kalau ada biji buah lewat pencernaan orang utan, kemungkinan besar tumbuhnya lebih tinggi,” tambah Yaya.
Lebih dari itu, orang utan juga mengonsumsi tumbuhan yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit mereka. Pengetahuan ini—yang belum tercatat dalam farmasi modern—berpotensi besar untuk riset kesehatan dan pangan masa depan.
“Bukan mustahil hutan tanaman industri menjadi bagian dari solusi konservasi, asal ada niat, data, dan kemauan kerja kolaboratif,” tegas Yaya.