Terus Berkonflik dengan Manusia, Orang Utan Dipindah dari Kawasan Pertambangan Batu Bara
- Kementerian Kehutanan
Samarinda – Di tengah gempuran industri pertambangan batu bara, kehidupan orang utan di Kalimantan Timur semakin terancam. Sejak awal 2025, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim telah berhasil menyelamatkan 37 individu orang utan yang terdampak konflik dengan manusia, sebagian besar berasal dari kawasan Perdau dan Jalan Poros Kutai Timur-Berau, Kecamatan Bengalon.
Kawasan ini dikenal padat aktivitas pertambangan, perkebunan sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Tidak jarang, orang utan terlihat melintas di area tambang atau masuk ke pemukiman warga. Kehadiran mereka sering menimbulkan konflik, baik dengan masyarakat maupun dengan aktivitas manusia, yang membuat mereka semakin terisolasi.
Kepala BKSDA Kaltim, Ari Wibawanto menjelaskan, sejak Januari 2025, upaya penyelamatan telah dilakukan dalam 10 kali kegiatan, dengan 28 orang utan menjalani translokasi dan 5 lainnya masuk pusat rehabilitasi.
“Kami bergerak cepat menanggapi laporan masyarakat dan memastikan keselamatan satwa tersebut,” kata Ari.
Konflik antara orang utan dan manusia di kawasan ini sering kali berakhir dengan keterlibatan pihak berwenang. Orang utan, dengan daya jelajah yang luas, kerap muncul di antara mesin tambang dan perkebunan, memaksa BKSDA dan mitra-mitranya seperti CAN, COP, dan BOSF untuk melakukan translokasi. Proses ini dilakukan bila ditemukan ancaman terhadap kesejahteraan orang utan atau gangguan bagi masyarakat.
Namun, translokasi bukanlah solusi utama. Ketika orang utan ditemukan dalam kondisi sakit atau kehilangan sifat liar, mereka menjalani rehabilitasi. Baru setelah itu, mereka akan dilepaskan kembali ke hutan. Bagi pihak-pihak seperti Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), translokasi adalah langkah terakhir.
“Seharusnya, perusahaan pertambangan lebih mengedepankan praktik terbaik dalam pengelolaan lingkungan agar konflik ini tidak terus berlanjut,” ujar CEO BOSF, Jamartin Sihite.