Sangkulirang–Mangkalihat: Dari Merabu Menuju Pengakuan UNESCO Global Geopark

Puncak Ketepu
Sumber :

Berau – Pada 6 September 2025, suasana Balai Adat Kampung Merabu terasa berbeda. Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, hadir langsung dalam deklarasi Geopark Sangkulirang–Mangkalihat, ditemani anggota DPR, perangkat daerah, serta tokoh masyarakat Dayak Lebo. Bagi warga Merabu, ini adalah sejarah baru.

Sebab kampung mereka menjadi pusat perhatian, bukan hanya karena alamnya yang indah, tetapi karena karst dan gua purba yang berpotensi mendapat pengakuan dunia. Namun jauh sebelum deklarasi ini, upaya menjadikan Sangkulirang–Mangkalihat sebagai geopark sudah berjalan panjang.

Sejak 2019, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) aktif mendampingi pemerintah provinsi, kabupaten, hingga masyarakat lokal untuk menyiapkan berbagai syarat pengusulan. Mulai dari inventarisasi keragaman geologi, pemetaan seni cadas prasejarah, hingga membangun kesadaran masyarakat tentang arti penting geopark.

“Bappenas menyebut, penetapan status Taman Bumi setidaknya menjawab atau menyelesaikan 11 hingga 14 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Artinya, geopark bukan hanya tentang pariwisata, tapi juga pembangunan yang lebih berkelanjutan,” ujar Niel Makinuddin, Manajer Senior YKAN.

Dalam enam tahun terakhir, YKAN bersama pemerintah daerah mendata 26 geosite yang tersebar di Kabupaten Berau dan Kutai Timur. Di antaranya Gua Beloyot dengan lukisan cap tangan berusia ribuan tahun, gugusan kerucut karst Merabu, hingga Danau Nyadeng yang dikelilingi hutan tropis.

Selain itu, kawasan ini juga menyimpan nilai budaya Dayak Lebo yang hidup berdampingan dengan alam. Menurut Niel, keunikan Sangkulirang–Mangkalihat terletak pada kombinasi tiga pilar: geologi, biodiversitas, dan budaya.

“Seni cadas di Sangkulirang–Mangkalihat adalah aset dunia. Mengelolanya dengan benar berarti kita ikut menjaga sejarah umat manusia,” katanya.