Maratua Bangkit Lewat Ekowisata, Warga Berjuang Jadi Tuan di Rumah Sendiri

Pulau Maratua
Sumber :

Berau – Pulau Maratua di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, kerap digambarkan sebagai surga bahari. Perairannya jernih, gugusan karang atol yang unik, hingga deretan gua menawan, membuat pulau terluar Indonesia ini masuk dalam peta wisata dunia.

Namun di balik keelokannya, masyarakat setempat sempat hanya menjadi penonton. Resor mewah berdiri di atas laut, dibangun dengan modal asing, tapi tak banyak memberi manfaat bagi warga.

Pada September 2024 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan menyegel dua resor di Pulau Maratua yang melanggar izin.

Direktur Jenderal PSDKP, Pung Nugroho Saksono, memimpin langsung penyegelan tersebut. Ia menegaskan bahwa Pulau Maratua tidak boleh dikuasai investasi asing yang mengabaikan aturan dan merugikan masyarakat.

Direktorat Jenderal PSDKP KKP langsung menyegel dua resor di Maratua yang melanggar izin. Salah satunya milik investor asing yang membangun jembatan dan fasilitas di atas laut tanpa perizinan lengkap.

“Pulau Maratua jangan sampai ada investasi asing yang mengganggu integritas NKRI. Mereka masuk dengan PMA dan mendirikan resor namun tidak berizin, lama-lama bisa menguasai. Itu yang harus diawasi,” ujar Ipunk, sapaan akrab Dirjen PSDKP Pung Nugroho Saksono, usai memimpin penyegelan pada September 2024.

Pernyataan itu menegaskan kekhawatiran pemerintah, bahwa resor-resor eksklusif yang dibangun tanpa izin tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga membuat masyarakat setempat tersisih.

Bagi warga Maratua, kehadiran resor besar sering terasa asing. Roberto, warga Kampung Payung-Payung, menceritakan bagaimana wisatawan yang ia antar dengan mobil bak terbuka miliknya kerap ditolak masuk ke kawasan resor.

“Itu hak mereka juga sebenarnya, karena demi kenyamanan tamu yang menginap di situ,” kata Roberto saat ditemui pada awal Agustus 2025.

Namun, konsekuensinya, ekonomi lokal tidak banyak bergerak. Wisatawan tentu lebih memilih langsung ke resor dengan segala fasilitasnya.

Direktur BUMK Kampung Teluk Harapan, Wira Hadikusuma menambahkan bahwa sebagian besar resor lebih dulu membangun fasilitas baru kemudian mengurus izin.

“Seperti kasus resor termahal di pulau ini, itu membangun dulu, kemudian viral, baru mengurus izin,” ungkapnya.

Harga kamar di resor bisa mencapai jutaan rupiah per malam. Tak heran banyak wisatawan memilih menginap di Pulau Derawan yang lebih murah, lalu hanya berkunjung singkat ke Maratua. Akibatnya, pengeluaran wisatawan tidak banyak berputar di kampung-kampung Maratua.

Kondisi itu memantik kesadaran warga. Kepala Kampung Payung-Payung, Rico, bersama pemuda kampung membentuk kelompok Maratua Peduli Lingkungan (MPL). Dari sebuah rumah sederhana dekat dermaga, ia memperlihatkan mesin pendingin ikan yang mereka kelola bersama BUMK.

“Ini kami ambil dari nelayan di sini, kita bekukan, lalu kita suplai ke resor itu,” jelas Rico sambil mengangkat seekor kakap besar dari mesin pendingin.

Menurutnya, inisiatif ini membuat hasil tangkapan nelayan bisa lebih bernilai dan menembus pasar wisata.

Tak berhenti di sana, Rico dan kelompoknya juga mengembangkan homestay. Dibantu Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), warga dilatih untuk menyambut wisatawan di rumah-rumah sederhana yang diubah menjadi penginapan murah atau homestay.

“Kita tentu berharap Pulau Maratua yang terkenal di seluruh dunia sebagai wisata bahari juga berdampak langsung kepada masyarakat kami,” ujarnya.

Melalui MPL, warga pun mulai meninggalkan praktik merusak lingkungan seperti bom ikan. Sebagai gantinya, mereka melakukan transplantasi terumbu karang, sekaligus menjadikannya spot snorkeling baru.

“Spot-spot untuk snorkeling, warga juga punya. Sehingga pilihan wisata di pulau ini semakin beragam,” tambah Rico penuh optimisme.

Selain laut, Maratua juga menyimpan kekayaan goa karst. Goa Halo Tabung di Kampung Payung-Payung lebih dulu terkenal, disusul Goa Kehe Kabok dan Goa Gumantung. Puluhan goa lain masih menunggu dijelajahi.

Potensi ini kini mulai dilirik sebagai alternatif wisata pengalaman yang berbeda dari sekadar pantai dan laut. Warga kemudian berusaha lebih gigih mengeksplorasi kampungnya agar wisatawan memastikan banyak pilihan ketika menginap di Pulau Maratua.

Sebuah jalan tengah menarik, homestay murah dan pilihan lokasi wisata yang sangat banyak. Harapannya, pengunjung bisa mengeluarkan lebih banyak uang di Pulau Maratua.

Sejak 2021, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mendampingi warga Maratua melalui program SIGAP dan Ekonomi Biru. Pendampingan itu meliputi pengelolaan ekowisata, penguatan kelompok sadar wisata (Pokdarwis), hingga pengembangan produk lokal.

Manajer Program Ekonomi Biru YKAN, Andi Trisnawati, menjelaskan bahwa pendampingan dilakukan agar masyarakat benar-benar siap bersaing.

“Program Ekonomi Biru ini memberikan penguatan kepada masyarakat dari berbagai sisi, berharap masyarakatnya bisa bermain di sektor ini, di rumah sendiri. Tidak hanya menjadi penonton,” ujar Trisnawati.

YKAN juga memperkuat kapasitas aparatur desa melalui Akademi Kampung SIGAP, sehingga tata kelola desa dan sumber daya alam semakin berkelanjutan. Kesadaran lingkungan yang tumbuh, dari berhenti menggunakan bom ikan hingga menjaga karang, kini berbuah harapan baru.

Pulau Maratua memang indah, tapi keindahan itu tak akan berarti tanpa keterlibatan masyarakatnya. Setelah melewati fase panjang, dari resor asing yang eksklusif hingga masyarakat yang mulai berdaya, arah baru kini terbuka. Arah itu bernama Ekowisata.

Membangun kesadaran lingkungan tentu harus sejalan dengan ruang ekonomi baru bagi masyarakat. Sebab Maratua harus dijaga, dan ekowisata adalah jalan tengahnya.

“Pulau Maratua ini berada di posisi terluar, sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sehingga sumber daya alam yang ada bisa saja tidak seindah saat ini. Oleh sebab itu, pendekatan ekowisata dilakukan dengan penerapan kode etik untuk laut lestari,” tambah Trisnawati.

Kini, Maratua bukan sekadar destinasi bahari kelas dunia. Ia menjadi simbol bagaimana masyarakat pulau terluar bisa bangkit dengan kekuatan lokal. Jalan masih panjang, tapi satu hal pasti, warga Maratua perlahan sedang menjadi tuan di rumah sendiri.