Garis Polisi Dirusak, Tambang Ilegal di Kaltim Kembali Beroperasi

Tambang Ilegal Dipasang Garis Polisi
Sumber :

Samarinda – Laporan tentang aktivitas tambang batu bara ilegal di Loa Buah, Samarinda, dan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, yang dilayangkan Arjuna Ginting bersama dua rekannya, Yuni Priskila dan Triana Megawati, ke Polda Kaltim pada November 2024, tampak tak membuahkan hasil. Hingga kini, lima bulan berlalu sejak laporan pertama, para pelaku tak kunjung ditangkap.

Bahkan, garis polisi yang sempat dipasang penyidik justru dirusak, dan aktivitas penambangan ilegal kembali beroperasi tanpa hambatan. Ginting pertama kali melaporkan kasus ini pada 12 November 2024 dengan Nomor Surat 040/Srt/BPPH/XI/2024.

Laporan tersebut terkait penambangan ilegal di lahan seluas 120 hektar—90 hektar di Loa Kulu dan sisanya di Samarinda—yang dikuasai kliennya, Conny Syahful Adi, berdasarkan Akta Nomor 26 dan 27 tertanggal 16 April 2021 sebagai jaminan utang dari Handoko.

Meski lahan tersebut telah dimenangkan Conny melalui putusan kasasi MA Nomor 1760/K/Pdt/2020 yang memerintahkan Handoko membayar Rp 30,5 miliar, penambangan ilegal tetap berlangsung sejak akhir tahun lalu.

“Dua laporan sudah saya layangkan ke Polda Kaltim sejak November 2024, lengkap dengan bukti video, foto, surat tanah, hingga salinan putusan kasasi,” ungkap Ginting , Minggu (9/3/2025).

Setelah didesak Ginting melalui permintaan SP2HP, penyidik Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Kaltim akhirnya turun ke lokasi pada Desember 2024. Mereka menemukan tumpukan batu bara yang digaruk secara ilegal di tepi Sungai Mahakam dan memasang garis polisi (police line) di atasnya. Pemasangan ini didokumentasikan oleh rekan Ginting yang turut mendampingi.

Namun, garis polisi tersebut ternyata tak bertahan lama. Dokumentasi terbaru yang diperoleh media ini menunjukkan garis polisi telah dirusak, dan aktivitas penambangan ilegal kembali berjalan. Alat berat masih beroperasi, dan truk-truk dump terlihat hilir mudik mengangkut batu bara. “Pemasangan garis polisi itu seolah hanya formalitas. Setelah dirusak, penambangan justru leluasa lagi, dan polisi tak menangkap siapa pun,” keluh Ginting.

Laporan Ginting sempat tertahan 19 hari sebelum sampai ke Dirkrimsus pada 2 Desember 2024. Baru pada 13 Desember 2024 Ginting dipanggil untuk dimintai keterangan, diikuti Conny pada 24 Desember 2024. Meski penyidik sempat turun ke lapangan, tak ada tindakan tegas yang menyusul. Hingga Maret 2025, lima bulan setelah laporan pertama, para pelaku masih bebas beroperasi.

Kegeraman Ginting memuncak hingga ia kembali menyurati Dirkrimsus pada 3 Januari 2025 (Nomor 042/Srt/BPPH/I/2025). Ia khawatir para pelaku akan menghilangkan barang bukti, seperti memindahkan alat berat atau menjual batu bara, untuk memutarbalikkan fakta. “Saya minta polisi bertindak cepat, tapi hingga kini nihil,” tegasnya.

Bukti baru yang ditemukan Ginting memperparah situasi: lahan yang dijaminkan Handoko ke Conny diduga telah dialihkan ke pihak lain, merugikan kliennya. Sementara itu, aktivitas ilegal terus berlangsung di lokasi yang seharusnya sudah disegel garis polisi—tanda nyata lambannya penegakan hukum dalam kasus ini.