Influencer Rp1,7 Miliar: Antara Strategi Promosi Pemprov Kaltim dan Sorotan Publik

Biduk-biduk adalah Destinasi wisata pantai, danau dan hutan karst
Sumber :
  • Bakri

Kaltim – Di tengah gencarnya promosi pariwisata digital, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berencana menggandeng influencer dengan anggaran mencapai Rp1,7 miliar. Harapannya, wajah pariwisata Bumi Etam bisa lebih dikenal luas, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di mancanegara.

Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, rencana itu justru memicu perdebatan. Angka Rp1,7 miliar dianggap terlalu besar, terutama ketika daerah sedang diminta lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan.

“Apakah tidak boros jika promosi diserahkan ke pihak luar, sementara dinas-dinas terkait seperti Diskominfo atau Dispar bisa melakukannya?” tanya Purwadi Purwoharsodjo, pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman. Baginya, setiap rupiah uang rakyat wajib dipertanggungjawabkan dengan transparan.

Bagi Purwadi, masalah bukan hanya soal besarannya, tetapi juga soal keterbukaan. Siapa influencer yang akan dipilih? Apa target capaian mereka? Sejauh mana dampaknya bisa diukur? Pertanyaan-pertanyaan itu, katanya, wajar muncul dari masyarakat.

Di sisi lain, Dinas Pariwisata Kaltim punya alasan tersendiri. Kepala Dispar Kaltim, Ririn Sari Dewi, menyebut penggunaan influencer adalah strategi yang relevan dengan pola komunikasi masyarakat saat ini.

“Permasalahan utama pariwisata kita adalah kurang promosi. Padahal Kaltim punya banyak destinasi indah yang belum terangkat. Dengan influencer, pesan bisa menjangkau audiens lebih luas dan lebih cepat,” ujarnya.

Ririn juga menegaskan bahwa strategi ini bukan hal baru. Kementerian Pariwisata maupun sejumlah daerah lain sudah lebih dulu melakukannya. Influencer dianggap mampu menjadi jembatan antara konten kreatif dan promosi resmi pemerintah.

Rencana itu akan melibatkan 20 hingga 30 influencer yang dipilih secara selektif. Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Dispar Kaltim, Restiawan Baihaqi, menjelaskan bahwa syaratnya cukup ketat: harus berbadan hukum, punya rekam jejak baik, serta sanggup memproduksi konten langsung di lokasi destinasi wisata.

“Tidak hanya soal jumlah pengikut, tetapi kualitas konten dan kredibilitas juga menjadi pertimbangan,” jelasnya.

Kini, publik menunggu apakah langkah ini akan menjadi terobosan cerdas atau justru beban baru bagi keuangan daerah. Di satu sisi, promosi pariwisata memang membutuhkan gebrakan. Tapi di sisi lain, transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi tuntutan utama.