Pesona Buduk Udan dan Kisah Warga Perbatasan Indonesia-Malaysia Melawan Keterbatasan

Buduk Udan
Sumber :

Nunukan –  Di dataran tinggi Krayan, Kalimantan Utara, waktu seolah berjalan lambat di antara kabut, hutan, dan bukit-bukit hijau. Wilayah ini berada di perbatasan Indonesia–Malaysia dan masih terisolasi karena akses darat yang belum memadai.

Sungai Mahakam Surut Picu Krisis Logistik, Pertamina Pastikan Pasokan LPG Tetap Jalan hingga Long Apari

Kebutuhan pokok sebagian besar datang dari Malaysia, dan sebagian besar kendaraan roda empat yang melintas pun berasal dari negeri tetangga. Meski demikian, Krayan tetap menyimpan kekayaan alam dan budaya yang lestari.

Salah satunya terlihat di Desa Pa’ Kidang, sebuah permukiman terpencil yang kini naik daun berkat Buduk Udan. Sebuah destinasi wisata andalan berupa bukit berketinggian 1.475 meter di atas permukaan laut.

Harga Beras Tembus Rp1 Juta, Warga Long Apari Terjepit Ancaman Kekeringan

Setiap pagi dan sore, kabut menggulung perlahan di lereng bukit, membentuk pemandangan dramatis khas “negeri di atas awan”. Dari puncaknya, dataran tinggi Krayan tampak seperti pulau-pulau hijau terapung di lautan putih.

Perjalanan menuju Buduk Udan dimulai dari Bandara Yuvai Semaring di Long Bawan. Wisatawan bisa menempuh penerbangan dari Tarakan, Nunukan, Malinau, atau Berau. Dari bandara, perjalanan dilanjutkan ke Desa Pa’ Kidang, lalu trekking sejauh 5 kilometer menembus jalur setapak menuju puncak bukit.

Pekerja Keamanan Adukan PT SSI ke Disnakertrans Bulungan, Puluhan Ijazah Masih Ditahan

Buduk Udan dikelola secara mandiri oleh Kelompok Wisata Pa’ Kidang Makmur, kelompok dampingan Balai Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Sepanjang jalur trekking, pengunjung juga bisa menjumpai habitat Rafflesia pricei, bunga langka yang hanya tumbuh di kawasan tertentu di Kalimantan.

“Buduk Udan merupakan lokasi wisata andalan di desa kami. Sampai saat ini jumlah kunjungan yang datang sangat banyak, berasal dari wisatawan lokal maupun dari luar Krayan, bahkan dari negara tetangga (Malaysia),” kata Ketua Kelompok Wisata Pa’ Kidang Makmur, Doni, Selasa (10/7/2025).

Tak sekadar indah, kehadiran Buduk Udan memberi dampak ekonomi nyata. Desa Pa’ Kidang masuk dalam 100 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023, dan juga termasuk 10 besar terbaik se-Kalimantan Utara.

“Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dari Balai Taman Nasional Kayan Mentarang terkait peningkatan kapasitas kelompok wisata dan bantuan sarana prasarana,” ujar Doni.

Kepala Balai TNKM, Seno Pramudito, mengatakan Buduk Udan dikembangkan melalui pendekatan konservasi yang melibatkan masyarakat lokal sebagai garda depan.

“Desa Pa’ Kidang merupakan salah satu desa penyangga dan desa binaan kita. Di sana sudah dibentuk kelompok wisata Pa’ Kidang Makmur,” kata Seno.

Ia menegaskan bahwa pendampingan kepada masyarakat tidak hanya berhenti pada pembentukan kelompok, tetapi juga mencakup berbagai pelatihan teknis dan penyediaan infrastruktur dasar wisata.

“Kami dari Balai Taman Nasional Kayan Mentarang mendukung pengembangan wisata di luar kawasan taman nasional maupun di dalam kawasan taman nasional,” ujar Seno Pramudito.

“Kami juga sudah memberikan pelatihan kepemanduan, bantuan shelter, papan informasi dan membentuk kelompok monitoring Rafflesia pricei,” tambahnya.

Menurut Seno, pendekatan seperti ini penting agar konservasi tidak hanya menjadi tugas negara, tetapi menjadi bagian dari kehidupan warga.

“Kami berharap destinasi wisata Buduk Udan dapat dikembangkan dan dilestarikan, sehingga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat. Kami juga mengharapkan para mitra, pemerintah daerah, dan berbagai pihak turut mendukung pengembangan ini,” tegasnya.

Kepala Seksi Pengelolaan TN Wilayah I Long Bawan, Hery Gunawan, membenarkan bahwa pengembangan wisata di Krayan tak lepas dari tantangan infrastruktur yang masih terbatas.

“Memang benar, sebagian besar kendaraan di sana dari Malaysia, terutama kendaraan roda empat. Ekonomi sangat berhubungan langsung dengan Malaysia karena aksesibilitas lebih dekat dengan Malaysia. Karena akses jalan darat saat ini masih proses pembangunan dari Malinau tembus Long Bawan,” ujar Hery.

Konsep yang diusung adalah wisata berbasis komunitas. Tak ada hotel modern, pengunjung diajak menginap di homestay warga, menyantap makanan rumahan, dan berinteraksi langsung dengan masyarakat Dayak Lundayeh.

Bagi yang menginginkan fasilitas lebih lengkap, tersedia penginapan di Long Bawan, yang menjadi pintu utama Krayan sekaligus pusat logistik kawasan perbatasan ini.

Buduk Udan bukan hanya destinasi, tapi juga cermin keberhasilan kolaborasi antara warga desa dan lembaga konservasi. Ia menjadi simbol bahwa dari pelosok perbatasan, masyarakat bisa bangkit dan menghidupi desanya. Tentu saja dengan tetap menjaga hutan dan alam tempat mereka berpijak.