Orang Utan Morio Melawan Kepunahan: Habitat Rusak, Hutan Menyempit, dan Kelaparan Mengintai

Simpang Perdau
Sumber :

Kutai Timur – Di Desa Sepaso Barat, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Muhammad Rusli, Ketua RT 2, berdiri di tepi jalan poros Bengalon-Muara Wahau. “Kiri sawit, kanan tambang. Hutan tinggal sisa pinggiran,” katanya dengan nada prihatin.

Ia sering melihat orang utan masuk kampung, tak lagi takut pada manusia. “Mungkin lapar, makanya berani,” ujarnya lirih.

Dulu, hutan lebat menyembunyikan mereka dari pandangan. Kini, terjepit antara tambang batu bara, HTI dan kebun sawit, pilihan mereka habis. “Diusir dari sini, diusir dari sana, mau ke mana lagi?” tanyanya.

Tak hanya orang utan, monyet dan beruk juga muncul, perut mereka kempes. “Kasihan, kayak minta makan,” tambah Rusli.

Warga tahu hutan lenyap, tapi tak berdaya. “Dulu mereka tersembunyi. Sekarang ke kampung atau tambang—kalau tidak, mati kelaparan,” tuturnya. Ia mendukung penyelamatan, melihat tubuh mereka makin kurus, terpojok oleh dunia yang tak lagi ramah.

Di Simpang Perdau, Lina, pemilik sebuah warung, menyaksikan kehadiran orang utan sebagai bagian hidup sehari-hari. “Dari dulu mereka di sini, seperti tetangga,” ujarnya.

Warga tak pernah mengusik. Jika mereka makan pucuk sawit atau menyeberang jalan, kendaraan berhenti, manusia menepi.

“Tapi kasihan, makanannya makin susah,” kata Lina, suaranya tenggelam oleh gemuruh tambang di belakang warungnya.

Ia ingat pernah ada orang utan yang meminta makan di pinggir jalan, hingga akhirnya petugas BKSDA Kaltim memindahkannya. Kementerian Kehutanan menyebutnya “interaksi negatif”—bukan konflik dengan warga, tapi dampak hutan yang raib. Sarang mereka kini mudah dilihat, cukup cari pohon sawit yang pucuknya lenyap.

Kapolres Kutai Timur, AKBP Chandra Hermawan, menegaskan tak pernah ada lapora soal penganiayaan maupun pembunuhunan terhadap orang utan. Warga Kutai Timur sangat memahami kondisi orang utan, termasuk habitatnya.

“Tujuh bulan saya di sini, tak ada laporan warga mengganggu orang utan,” katanya.

Polisi rutin menyisir titik-titik rawan kemunculan satwa ini di jalur Perdau, yang menghubungkan Kutai Timur dengan Berau, bahkan hingga Kalimantan Utara.

“Kalau ada pelanggaran, kami tak main-main. Ini satwa dilindungi, sorotan dunia,” tegasnya. Kesadaran warga dan kehadiran polisi menjaga Perdau tetap aman bagi primata ini, setidaknya dari ancaman manusia langsung.

 

Awal Perjalanan di Jalur Perdau

Menjelang Ramadan 2025, tim Kaltim.viva.id memutuskan menyusuri jalur Perdau yang berdentum oleh suara mesin tak henti. Tambang batu bara mencabik-cabik alam di kedua sisinya, menyisakan barisan pohon yang kini tak lebih dari topeng tipis untuk menyembunyikan kehancuran.

“Kami datang karena cerita mereka viral—tertangkap kamera di tambang, kebun sawit, bahkan kampung warga,” kata Riani, jurnalis media daring nasional yang bergabung dengan kami.

Di tengah perjalanan, sebuah pohon bergoyang tanpa sebab. Dari balik daun, seekor orang utan betina muncul, menggendong anaknya erat.

Dengan gerakan cepat, ia melompat antar dahan, menjauh dari kami. Jaraknya dari jalan hanya lima meter—terlalu dekat untuk primata yang seharusnya bersemayam di dalam hutan lebat, satwa yang dikenal sebagai Pongo pygmaeus morio.

Tak lama setelah pertemuan pertama, kami melangkah perlahan di tepi jalan. Hanya 20 meter dari situ, satu individu lain muncul, berayun lincah di dahan. Sore itu, tiga orang utan dan banyak sarang kami temukan—bukti rapuh bahwa mereka masih bertahan, meski terdesak.

“Lewat sini pagi atau sore, pasti ketemu,” kata Ahmad, pedagang bakso yang berhenti sejenak saat melihat kami memotret. “Kadang siang juga bisa,” tambahnya.

Empat hari kami jelajahi Perdau, dari Simpang Perdau hingga mendekati Muara Wahau. Hampir setiap hari, jejak mereka ada: sarang tua, pucuk sawit yang hilang, dan bayang-bayang mereka di kejauhan.

Pada 5 Februari 2025 lalu, sebuah video orang utan di kawasan tambang dekat Simpang Perdau menghebohkan media sosial. Saat kami coba ke sana, jalur ke lokasi ditutup rapat oleh perusahaan. Jalan tua yang dulu jadi akses warga kini lenyap, ditelan lubang tambang yang terus membesar.